TUGAS
KELOMPOK
PENGATAR ILMU POLITIK
( CAKUPAN ILMU POLITIK)
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 1 :
LUKMAN
KHAKIM
NURUL
WAHIDA
NURSEHA
MUDRA
SUHARTINA
NURHEDA
RAHMADHANI
SEKOLAH TINGGI ILMU
ADMINISTRASI (STIA)
PUANGRIMAGGALATUNG SENGKANG
TAHUN AJARAN 2013/2014
CAKUPAN ILMU
POLITIK
1. Filsafat Politik
a. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
b. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin
Luther)
c. Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
d. Tradisi Modern
2.
Ruang Lingkup Ilmu Politik /bidang ilmu politik
a. Teori
politik
b. Lembaga-lembaga
politik
c. Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum
d. Hubungan
internasional
3. Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
a. Ilmu
Politik (Political Science).
b. Lembaga-lembaga
Politik.
c. Tingkah Laku Politik.
d. Politik
Perbandingan.
e. Hubungan
Internasional
f.
Teori
Politik.
g. Administrasi
dan Kebijakan Publik.
h. Ekonomi
Politik.
i.
Metodologi
Politik.
4. Ontologi Ilmu Politik
a. Negara (state)
b. Kekuasaan
(power)
c. Pengambilan keputusan (decision-making)
d. Kebijaksanaan
umum (public policy)
e. Pembagian
(distribution)
5. pendekatan – pendekatan dalam kajian Ilmu politik
a. Pendekatan
Institusional
b. Pendekatan
Perilaku
c. Neo-Marxis
d. Ketergantungan
e. Pendekatan
Pilihan Nasional
f.
Pendekatan Behavioral
g. Pendekatan
Plural
h. Pendekatan
Struktural
i.
Pendekatan Developmental
j.
Pendekatan menurut epistemology
a)
Pendekatan tradisional
b)
Pendekatan behavioral
c)
Pendekatan post-behavioral
6. Konsep-konsep
dalam yang ingin di capai dalam politik
a. Power (Kekuasaan)
b. Authority (Kewenangan)
c. Influence (Pengaruh)
d. Persuasion (Ajakan)
e. Coercion (Paksaan)
f.
Acquiescence (Perjanjian)
7. 4 asumsi
kata politik menurut Andrew Heywood:
a. Politik
sebagai Seni Pemerintahan
b. Politik
sebagai hubungan public
c. Politik
sebagai kompromi dan consensus
d. Politik
sebagai kekuasaan
8. Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
a. Politik dengan Sejarah
b. Politik dengan sosiologi
c. Politik dengan psikologi
d. Politik dengan ekonomi
e. Politik dengan filsafat
f.
Politik
dengan antropologi
g. Politik dengan teologi
h. Politik dengan jurnalis dan politisi
i.
Politik
dengan gografi
j.
Politik
dengan ilmu hokum
9.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Politik
10.
inti kajian ilmu politik dapat meliputi:
a.
Filsafat
dan teori politik.
b.
Struktur dan
lembaga-lembaga politik.
c.
Partai politik dan
organisasi masyarakat.
d.
Partisipasi
warga negara.
e.
Hukum dan
lembaga-lembaga internasional.
1.
Filsafat Politik
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
a.
Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Politik dalam pandangan klasik
dikemukakan oleh Arsitoteles, adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan
bersama atau kepentingan umum Kebaikan bersama ini bisa berupa. Nilai ideal
yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kesejahteraan, dll.
Keinginan orang banyak atau keinginan golongan mayoritas. Pandangan politik
klasik ini terlalu bersifat filosofis sehingga tidak membumi, tidak melihat
realitas.
Bagi Plato, kehidupan negara yang
sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan
---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan
seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan
yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan
kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
b.
Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan
Martin Luther)
a.
Santo
Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis
magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua
substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang
jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi
sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh
penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan.
Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan,
penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan
diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang
negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan
ketaatan pada Tuhan.
b.
Santo Thomas
Aquinas (1225-1274 M).
Magnum opus
Aquinas adalah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas
menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab
tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan
untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine
Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan
memperhatikan hukum Tuhan.Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan
terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat
untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan
"Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang
yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut
digulingkan."
c. Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
c.
Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M). Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M) Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi. Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M). Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M) Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi. Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:
1.
Legislatif
(pembuat UU)
2.
Eksekutif
(pelaksana UU)
3.
Federatif
(hubungan dengan luar negeri) sementara dipegang eksekutif.
Locke
menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat
yang membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut
adalah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis. Montesquieu (1689-1755 M). Magnum opus dari Montesquieu
adalah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang
dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut:
1.
hukum
secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
2.
pengaturan
militer dan pajak
3.
ketergantugan
adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
4.
perekonomian.
5.
agama
6.
uraian
tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M). Magnum opus Rousseau adalah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.
d.
Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
2. Ruang Lingkup Ilmu Politik /bidang ilmu politik
a.
Teori
politik
Teori politik adalah bahasan sistematis
dan generalisasi-generalisasi dari politik. Teori politik bersifat spekulatif
(merenung-renung) sejauh dia menyangkut norma-norma untuk kegiatan politik.
Tetapi teori politik juga dapat bersifat deskriptif (menggambarkan) atau
komparatif (membandingkan) atau berdasarkan logika. Dengan kata lain, teori
politik adalah bahasan dan renungan atas:
1.
tujuan
dari kegiatan politik
2.
cara-cara
mencapai tujuan itu
3.
kemungkinan-kemungkinan
dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu dan
4.
kewajiban-kewajiban
(obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Konsep-konsep yang dibahas dalam teori
politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan,
kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan
sosial, pembangunan politik, modernisasi dan sebagainya.
Menurut Thomas P. Jenkin dalam The
Study of Political Theory dibedakan dua macam teori politik. Sekalipun
perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak.
1.
Teori-teori
yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norm for
political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai (value) maka
teori-teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk
golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi
dan sebagainya.
2.
Teori-teori
yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak
mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori-teori ini dapat dinamakan
non-valuational. Ia bisasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan
komparatif (membandingkan). Ia berusaha untuk membahas fakta-fakta kehidupan
politik sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam
generalisasi-generalisasi.
b.
Lembaga-lembaga
politik
1.
Undang-Undang Dasar
2.
Pemerintah Nasional
3.
Pemerintah lokal dan daerah
5. Administrasi negara
4.
pelaksanaan fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintahs
5.
Perbandingan pemerintah dan lembaga-lembaga politik
c.
Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat
umum
1.
Partai-partai politik
2.
Golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi
3.
Partisipasi warga Negara dalam pemerintah dan administrasi
4.
Pendapatan umum
d.
Hubungan
internasional
1.
Politik Internasional
2.
Organisasi-organisasi dan administrasi internasional
3.
Hukum Internasional
3.
Sub-sub
Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu:
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu:
1.
Ilmu
Politik (Political Science). Bidang ini membahas bagaimana politik dapat
dianggap sebagai bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan
ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
2.
Lembaga-lembaga
Politik. Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup:
sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur
pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan
sipil, serta angkatan bersenjata.
3.
Tingkah
Laku Politik. Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan
lembaga politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal.
Misalnya mempelajari perilaku pemilih dalam 'mencoblos' suatu partai dalam
Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu sekolah,
bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara
mereka.
4.
Politik
Perbandingan. Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang
mempelajari: (a) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi
serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di
antara negara yang diperbandingkan, dan (b) Suatu metode riset soal bagaimana
membangun suatu standar, aturan, dan bagaiana melakukan analisis atas
perbandingan yang dilakukan.
5.
Hubungan
Internasional. Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar
negeri, hukum internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi
internasional. Singkatnya, segala aktivitas politik yang melampaui batas
yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
6.
Teori
Politik. Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru dalam
ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu
sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun
oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk menjelaskan
fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu politik telah
mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk
menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh
belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan politik "menutup" diri Jepang
dan Amerika Serikat (sebelum Perang Duia I), diterapkan teori ISOLASIONISME
(pinjaman dari bahasa jurnalistik).
7.
Administrasi
dan Kebijakan Publik. Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas
pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana
aktivitas ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
8.
Ekonomi
Politik. Sub disiplin ini menekankan pada perilaku ekonomi dalam proses politik
serta perilaku politik dalam pasar (marketplace).
9.
Metodologi
Politik. Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta
metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan
kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk
ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam uji statistik (dalam
tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
4. Ontologi Ilmu Politik
1.
Negara (state)
Organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyatnya.
2.
Kekuasaan (power)
Kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
3.
Pengambilan keputusan (decision-making)
Keputusan (decision) adalah membuat pilihan di
antara beberapa alternative pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang
terjadi sampai keputusan itu dicapai.
4.
Kebijaksanaan umum (public policy)
Kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam
usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat
kebijakan memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya.
5.
Pembagian (distribution)
Nilai adalah
sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang
berharga. Pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat.
Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik.
5.
Pendekatan Dalam Ilmu Politik Antara Lain :
a. Pendekatan
Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada
ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan
dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional
menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke
alam kenyataan. Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya)
dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap
rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi,
membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan
melaksanakan kebijaksanaan umum. Badan eksekutif sistem pemerintahan
parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh
presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari
keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara
prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja
seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan
penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus
eksekutif.
b. Pendekatan
Perilaku
Esensi kekuasaan adalah untuk
kebijakan umum. tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena
bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang
sebenarnya. Lebih bermanfaat bagi peneliti dan pemerhati politik untuk
mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai
gejala-gejala yang benar-benar dapat diamati. Perilaku politik menampilkan
regularities (keteraturan)
c. Neo-Marxis
Menekankan pada aspek komunisme tanpa
kekerasan dan juga tidak mendukung kapitalisme. Neo Marxis membuat beberapa
Negara sadar akan pentingnya persamaan tanpa kekerasan, akan tetapi komunisme
sulit dijalankan di beberapa Negara karena komunisme identik dengan kekerasan
dan kekejaman walaupun pada intinya adalah untuk menyamakan persamaan warga
negaranya di suatu Negara sehingga tidak ada yang ditindas dan menindas
terlebih lagi dalam bidang ekonomi. Neo-Marxis
juga menginginkan tidak adanya kapitalisme yang sering dilakukan Negara Barat
dalam hal ini Negara maju, karena kapitalisme hanya mementingkan keuntungan
yang sebesar-besarnya sehingga sering kali “menyengsarakan” rakyat pribumi
karena orang-orang pribumi sering kali hanya menjadi penonton atau pun menjadi
korban dari kapitalisme ini. Walaupun kapitalisme berhubungan dengan bidang
ekonomi tetapi kapitalisme juga berpengaruh dalam hal kebijakan politik yang
dibuat oleh Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang yang sering
dijadikan sasaran kapitalisme besar-besaran seperti Indonesia.
d. Ketergantungan
Memposisikan hubungan antar negara besar dan
kecil. Pendekatan ini mengedepankan ketergantungan antara Negara besar dan
Negara kecil yang saling keterkaitan sehingga satu sama lain saling bergantung,
jadi Negara besar bergantung pada Negara kecil baik dalam hal politik, ekonomi
dan dalam hubungan internasional dan sebaliknya sehingga satu sama lain
mempunyai posisi yang sama.
e. Pendekatan
Pilihan Nasional
Pilihan-pilihan yang rasional dalam pembuatan
keputusan politik. Pendekatan pilihan nasional ini menekan kan bahwa pengambil
kebijakan atau pembuatan keputusan dilihat dari rasionalitas yang ada di Negara
tersebut agar bisa dijalankan oleh Negara dan tentu identitas social-politik
sangat diperlukan. Terdapatnya identitas sosial-politik disebabkan adanya
prilaku politik identitas guna mengembangkan kelompok-kelompok. Prilaku ini
seiring bertumbuh-kembangnya eksplorasi kebudayaan di setiap kelompok guna
“menemukan” kembali dan atau melestarikan solidaritas identitas yang dimiliki.
Eksplorasi tersebut sangat bermanfaat bagi eksistensi kelompok identitas yang
memiliki jumlah besar (mayoritas).
f.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme
meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus
membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap individu
manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan
Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta
apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut
dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan
politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai
Y?
g. Pendekatan
Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat
terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah
pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961
menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal.
Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar
kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter
menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip
seperti Mills).
h. Pendekatan
Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada
anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh
struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di
posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam),
memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur
masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi
tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara
bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara
formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu
Belanda (Eropa). Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam
analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu
atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang ‘mendadak’ kaya akibat
revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara)
sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi
Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
i.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul
negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek
pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru
tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui
kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas
sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong
pada terciptanya demokrasi.
6. Konsep-konsep dalam yang ingin di capai dalam politik
1. Power
(Kekuasaan)
Power sering diartikan sebagai
kekuasaan. Sering juga diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu
pihak yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain, untuk mencapai apa yang
diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und
Gesselshaft menyatakan, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan. Pernyataan
ini menjadi rujukan banyak ahli, seperti yang dinyatakan Harold D. Laswell dan
A. Kaplan,” Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok
dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak
pertama.”
Kekuasaan merupakan konsep politik
yang paling banyak dibahas, bahkan kekuasaan dianggap identik dengan politik. Harold
D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society: “Ilmu politik mempelajari
pembentukan dan pembagian kekuasaan.”
2. Authority (Kewenangan)
Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau
memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar
tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan.
Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas
organisasi.
Kewenangan digunakan untuk mencapai
tujuan pihak yang berwenang. Karena itu, kewenangan biasanya dikaitkan dengan
kekuasaan. Robert Bierstedt menyatakan dalam bukunya an analysis of social
power , bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Seseorang yang
memiliki kewenangan berhak membuat peraturan dan mengharapkan kepatuhan
terhadap peraturannya.
3. Influence (Pengaruh)
Norman Barry, seorang ahli, menyatakan bahwa pengaruh adala suatu
tipe kekuasaan, yang jika seorang dipengaruhi agar bertindak dengan cara
tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman
sanksi terbuka bukan merupakan motivasi pendorongnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan pengaruh tidak bersifat terikat untuk mencapai sebuah tujuan.
Pengaruh biasanya bukan faktor
satu-satunya yang menentukan tindakan pelakunya, dan masih bersaing dengan
faktor lainnya. Bagi pelaku masih ada faktor lain yang menentukannya bertindak.
Walaupun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan kekuasaan, pengaruh lebih
unggul karena terkadang ia memiliki unsur psikologis dan menyentuh hati, dan
karena itu sering berhasil.
4. Persuasion (Ajakan)
Persuasi adalah kemampuan untuk mengajak orang lain agar mengubah
sikap dengan argumentasi, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan orang
yang mengajak. Dalam politik, persuasi diperlukan untuk memperoleh dukungan.
Persuasi disini dilakukan untuk ikut serta dalam suatu komunitas dan mencapai
tujuan komunitas tersebut. Persuasi bersifat tidak memaksa dan tidak
mengharuskan ikut serta, tapi lebih kepada gagasan untuk melakukan sesuatu.
Gagasan ini dinyatakan dalam argumen untuk memengaruhi orang atau kelompok
lain.
5. Coercion (Paksaan)
Paksaan merupakan cara yang mengharuskan seseorang atau kelompok
untuk mematuhi suatu keputusan. Peragaan kekuasaan atau ancaman berupa paksaan
yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pemilik kekuasaan.
Dalam masyarakat yang bersifat
homogen ada konsensus nasional yang kuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
Paksaan tidak selalu memengaruhi dan tidak tampak. Dengan demikian, di negara
demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya digunakan seminimal mungkin
dan hanya digunakan untuk meyakinkan suatu pihak.
Contoh dari paksaan yang
diberlakukan sekarang adalah sistem ketentuan pajak. Sifat pajak ini memaksa
wajib pajak untuk menaati semua yang diberlakukan dan apabila melanggar akan
dikenai sanksi.
6. Acquiescence (Perjanjian)
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu pihak membuat janji
kepada pihak lain untuk melaksanakan satu hal. Oleh karena itu, perjanjian
berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian
dilaksanakan dalam bentuk lisan atau tulisan. Acquiescence diartikan sebagai
perjanjian yang disetujui tanpa protes.
7. 4 asumsi
kata politik menurut Andrew Heywood:
1. Politik
sebagai Seni Pemerintahan
Artinya,
politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan
keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang paling tua dan telah berkembang
sejak masa Yunani Kuno.
2. Politik
sebagai hubungan public
Aristoteles dalam bukunya Politics,
menyatakan bahwa manusia adalah binatang politik. Maknanya, secara kodrati
manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas
politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua
lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society
(kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi seperti pengadilan, aparat
pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya,
sementara dalam “civil society” terletak institusi seperti keluarga,
kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan
sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.
3. Politik
sebagai kompromi dan consensus
Sharing atau pembagian kekuasaan
adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus
dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik,
tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing
memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain.
Baiknya politik suatu negara bilamana masalah pergesekan kepentingan
diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan
darah.
4. Politik
sebagai kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang
atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti
kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan
sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat.
Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan)
dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.
8. Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Prinsip-prinsip ilmiah dalam ilmu
alam adalah berarti prinsip “resonable conduct” yaitu ‘the manner in which a
typical contemporary scientist deal with his problems of research”, atau
prinsip-prinsip yang sudah diterima secara umum dalam ilmu ilmu alam, seperti
ketika ilmuwan ilmu alam dihadapkan pada gejala yang harus dijelaskannya
a.
Hubungan ilmu Politik dengan Sejarah
Mempelajari
peristiwa masa lampau baik menyangkut sebab-sebabnya serta hubungan antar
peristiwa. Membantu ilmu politik dalam memprediksi masa depan yakni mengapa
suatu peristiwa terjadi, bagaimana suatu peristiwa terjadi serta akibat-akibat
yang ditimbulkannya.
b.
Hubungan ilmu Politik dengan sosiologi
Baik
ilmu sosiologi maupun ilmu politik sebagai ilmu yang berusaha mengupas
fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi banyak memberi kontribusi
terhadap ilmu politik dalam penajaman analisis Membantu ilmu politik dalam
memahami latar belakang struktur dan pola kehidupan sosial terutama kaitannya
dengan pengambilan keputusan, pengendalian sosial serta pola pengorganisasian
secara politis. Sama-sama menelaah negara. Sosiologi melihat Negara sebagai
organisasi pengendali sosial. Ilmu politik melihatnya sebagai asosiasi
tertinggi. Membantu memahami ilmu politik dalam rangka mengetahui sumber-sumber
kewenangan politik, sumber-sumber keabsahan politik
c.
Hubungan ilmu Politik dengan psikologi
social
psikologi
yang meneliti perilaku manusia sebagai individu dalam kaitannya dengan situasi
sosial (mengamati tingkah laku seseorang yang dipengaruhi situasi sosial).
Membantu ilmu politik : Menjelaskan gejala-gejala politik dan motif-motif
politik yang menjadi dasar setiap proses politik Dalam menganalisis tentang
siapa yang paling berkuasa dalam proses politik Pengaruh pemimpin informal
dalam pembuatan keputusan politik Mengetahui sikap masyarakat terhadap hal-hal
yang baru dan bagaimana situasi yang ada.
d.
Hubungan ilmu Politik dengan ekonomi
Menelaah
sesuatu yang berkaitan dengan faktor kelangkaan sehingga berorientasi pada
kebijakan rasional. Membantu ilmu politik: Pengambilan keputusan terutama
menyangkut pembangunan ekonomi nasional Penggunaan pendekatan tingkah laku
dalam menganalisis masalah-masalah politik
e.
Hubungan ilmu Politik dengan filsafat
Mengkaji
secara sistematis dan rasional dalam mencari jawaban atas persoalan yang
menyangkut alam dan kehidupan manusia. Membant ilmu politik menyangkut hakekat
manusia, nilai-nilai ideal bagi kehidupan negara/pemerintah. Membantu ilmu
politik menyangkut moral dan etika
f.
Hubungan ilmu Politik dengan
antropologi sosial
Fokus
analisisnya menyelidiki aspek kultural dari setiap hidup bersama. Membantu Ilmu
politik : Untuk memahami kondisi masyarakat terutama di negara-negara
berkembang yang sedang mengalami perubahan terkait dengan konsep modernisasi,
demokratisasi, kolonialisme, hubungan elite dengan massa, nasionalisme, dll
Pengembangan metode penelitian partizipant observer
g.
Hubungan ilmu Politik dengan teologi
Menangani masalah Anomi, karisma.
h.
Hubungan ilmu Politik dengan jurnalis
dan politisi
Imperialisme,
internasionalisme, isolasionisme, kiri dan kanan, lobi, netralisme, nihilisme,
patronase, plebisit, propaganda, sosialisme, sindikalisme.
i.
Hubungan ilmu Politik dengan gografi
Faktor-faktor
yang berdasarkan geografi, seperti perbatasan strategis, desakan penduduk,
daerah pengaruh mempengaruhi politik.
j.
Hubungan ilmu Politik dengan ilmu hokum
Sama-sama
menganalisis negara dan komponenanya. Ilmu Politik dapat dibantu dalam
memahaminya secara normatif. Keterkaitan hukum dengan politik keduanya saling
terkait dikerena hukum dapat memberikan keadilan dan membatasi perilaku manusia
dalam berpolitik serta membantu dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran
dalam berpolitik seperti masalah korupsi,kolusi serta pelanggaran-pelanggaran
pemilu.
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU POLITIK
jika kita mengkaji ilmu politik, kita dapat memulainya dari ilmu politik yunani kuno, kemudian abad Romawi, lalu abad Pertengahan (middle ages), sampai pada Rennaisance dan abad pencerahan sampai abad 19 dan abad 20. Dalam kajian sejarah ilmu politik, ada dua teori tentang lahirnya ilmu politik, yaitu pembahasan secara luas dan pembahasan secara sempit. Secara luas ilmu politik sudah ada sejak zaman dahulu terbukti dari peninggalan prasasti serta pembahasan–pembahasan dan tulisan-tulisan dari para philosophy masa lampau. Sedangkan secara sempit ilmu politik dilihat dari aspek sisstematisnya sebagai ilmu dalam aspek akademis.
* Secara luas Ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu, dibuktikan dari karya karya berikut:
- Yunani Kuno pada tahun 450 SM pemikiran mengenai Negara sudah dimulai, dilihat dari karya Herodutus, Plato dan Aristoteles
- Asia , seperti Imdia tahun 500 SM terdapat kitab kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra.
- Wilayah Asia lain, Cina tahun 500 SM, terdapat beberapa tokoh filsuf seprti Confucius dan Kung Fu Tzu
- Arab abad II M terdapat beberapa karya AL – Marwardi berjudul AL – Akham AS-Sultaniyyah
- Indonesia , terdapat beberapa karya yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan seperti yang ditulis dalam buku Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi pada abad 13-15 M
* Secara Sempit Dinegara Eropa seperti Jerman, Austria dan prancis dimulai kelahiran ilmu politik. Pada abad ke 18 dan ke 19 negara-negara tersebut dipengaruhi dan di monopoli oleh Ilmu Hukum, oleh sebab itu beberapa pemikir Negara tersebut mulai beralih kepada ilmu-ilmu social politik. Tahapan-tahapan perkembangan dimulai dari :
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU POLITIK
jika kita mengkaji ilmu politik, kita dapat memulainya dari ilmu politik yunani kuno, kemudian abad Romawi, lalu abad Pertengahan (middle ages), sampai pada Rennaisance dan abad pencerahan sampai abad 19 dan abad 20. Dalam kajian sejarah ilmu politik, ada dua teori tentang lahirnya ilmu politik, yaitu pembahasan secara luas dan pembahasan secara sempit. Secara luas ilmu politik sudah ada sejak zaman dahulu terbukti dari peninggalan prasasti serta pembahasan–pembahasan dan tulisan-tulisan dari para philosophy masa lampau. Sedangkan secara sempit ilmu politik dilihat dari aspek sisstematisnya sebagai ilmu dalam aspek akademis.
* Secara luas Ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu, dibuktikan dari karya karya berikut:
- Yunani Kuno pada tahun 450 SM pemikiran mengenai Negara sudah dimulai, dilihat dari karya Herodutus, Plato dan Aristoteles
- Asia , seperti Imdia tahun 500 SM terdapat kitab kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra.
- Wilayah Asia lain, Cina tahun 500 SM, terdapat beberapa tokoh filsuf seprti Confucius dan Kung Fu Tzu
- Arab abad II M terdapat beberapa karya AL – Marwardi berjudul AL – Akham AS-Sultaniyyah
- Indonesia , terdapat beberapa karya yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan seperti yang ditulis dalam buku Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi pada abad 13-15 M
* Secara Sempit Dinegara Eropa seperti Jerman, Austria dan prancis dimulai kelahiran ilmu politik. Pada abad ke 18 dan ke 19 negara-negara tersebut dipengaruhi dan di monopoli oleh Ilmu Hukum, oleh sebab itu beberapa pemikir Negara tersebut mulai beralih kepada ilmu-ilmu social politik. Tahapan-tahapan perkembangan dimulai dari :
a.
Abad 18 dan 19 di Jerman, Austria dan Prancis telah muncul pembahasan
tentang politik namun masih kental dipengaruhi hukum dan negara. Ø Di Inggris
Ilmu politik dipengaruhi oleh filsafat moral dan sejarah Ø Di Paris Prancis
tahun 1870 lahir Ecole libredes Scienies
b.
Di Inggris tahun 1895 muncul lembaga London School of Economic and
Political Science Ø Di AS tahun 1858 diangkat Francis Lieber sebagai guru besar
Sejarah dan Ilmu politik di columbia College.
c.
Masih di AS tahun 1904 lahir American Political Science Assosiation
(APSA) Ø Unesco lembaga dibasah PBB tahun 1948 melahirkan buku Contemporary
Political Science
Jadi Ilmu politik adalah suatusuatu ilmu yang
memproses pembentukan dan pembagian kekuasaan dengan pembuatan keputusan dalam
suatu negar. Ilmu politik tidak bias lepas dari kehidupan suatu negara dan
pemerintahan, karena sangat berperan penting dalam berjalannya roda
pemerintahan.Ilmu politik yang telah berumur kira- kira 2500 tahun ini dibentuk
oleh para ilmuwan philosophy jelas memiliki banyak mamfaat.Intisarinya Ilmu
politik pada dasarnya adalah ilmu yamg sangat berguna bagi negara, namun banyak
orang menyalahgunakan ilmu poilitik sebagai wewenang untuk mereka melakukan
tindakan kotor seperti KKN.
Politik hari ini tidak sekedar mencakup Negara dan Kekuasaan.
ia sudah menyangkup semua level, dari orang yang miskin sampai yang kaya
sekalipun. Dari rumah tangga sampek negara. Prof. Dr. MIriam Budiardjo menulis
bahwa–setidaknya secara teori–berbicara politik tidak akan lepas dari masalah
state, power, decision making, publik policy, allocation atau distribution.
Soal positif tidaknya image politik sangat tergantung pada prilaku politik
seseorang dan pengetahuan masyarakat luas tentang apa sebenarnya politik. Namun
demikian perlu disadari bahwa manusia yang brutal lebih banyak dari pada
manusia yang mendengarkan dan memanifestasikan nilai-nilai kamanusiaan universal
dalam dalam kehidupan. Tindaka seperti itu dikarenakan kurangnya pendidikan
spiritual dikalangan sebagian politikus sehingga mereka melakukan praktek
tersebut. Masyarakat saat ini membutuhkan para politikus yang adil, jujur dan
memiliki kecakapan yang luas.
2. Inti kajian ilmu politik dapat meliputi:
1. Filsafat
dan teori politik.
Filsafat
politik mencari penjelasan yang berdasarkan ratio. Ia melihat jelas adanya
hubungan antara sifat dan hakekat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan
hakekat dari kehidupan politik di dunia fana ini. Pokok pikiran dari filsafat
politik ialah bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti
metafisika dan epistemology harus dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan
politik yang kita alami seahri-hari dapat ditanggulangi. Misalnya menurut
filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan hakikat dari alam semesta yang
sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang baik” (good life)
yang dicita-citakan olehnya. Contoh lain adalah beberapa karya John Locke.
Filsafat politik erat hubungannya dengan etika dan filsafat sosial.
Teori-teori
politik ini tidak memajukan suatu pandangan tersendiri mengenai metafisika dan
epistemology, tetapi berdasarkan diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim
diterima pada masa itu. Jadi, ia tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya
norma-norma, tetapi hanya mencoba untuk merealisasikan norma-norma dalam suatu
program politik. Teori-teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari
filsafat politik dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma-norma dalam
kegiatan politik. Misalnya, dalam abad ke 19 teori-teori politik banyak
membahas mengenai hak-hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara
dan mengenai sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu.
Bahasan-bahasan ini didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu
mengenai adanya hukum alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum
alam itu sendiri.
2. Struktur dan
lembaga-lembaga politik.
Lembaga-lembaga
politik merupakan kajian terhadap lembaga-lembaga politik khususnya peranan
konstitusi, eksekutif, birokrasi, yudikatif,
partai
politik dan sistem pemilihan, yang mula-mula mendorong pembentukan formal
jurusan-jurusan ilmu politik di banyak niversitas pada akhir abad ke-19 (Miller,
2003: 790). Sebagian besar mereka tertarik pada penelusuran asal-usul dan
perkembangan lembaga-lembaga politik dan memberikan deskripsi-deskripsi fenomenologis;
memetakan konsekuensi-konsekuensi formal dan prosedural dari institusi-institusi
politik. Banyak para ahli politik kontemporer yang menghabiskan waktunya untuk memonitor,
mengevaluasi, dan menghipotesiskan tentang asal-usul,
perkembangan
dan konsekuensi-konsekuensi lembaga-lemabag politik, seperti aturan-pluralitas
sistem pemilihan atau organisasi-organisasi pemerintahan yang semu. Namun
sebagian lagi mereka kurang toleran dan mengklaim bahwa merekaterlibat dalam
deskripsi-deskripsi tebal hanya karena mereka memang ilmuwan politik yang
handal, bukan yang kebanyakan ada.
3. Partai politik dan
organisasi masyarakat.
Partai-partai,
golongan-golongan dan pendapat umum, banyak memakai konsep-konsep sosiologis
dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat
menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses-proses politik. Partai politik
pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa
rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam
proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi
penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai
politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik
yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka
dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga
politik yang biasa dijumpai.
Di negara-negara yang
menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar
ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara
totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite
politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas
yang langgeng. Untuk mencapai itu, partai politik merupakan alat yang baik.
Secara umum dapat dikatakan
bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik –(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
4. Partisipasi
warga negara.
Kegiatan
seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik.
Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang
turut serta dalam proses pemilihan tak langsung – dalam pembentukan
kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam
pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok
penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan
perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang
duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan
sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan
apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut
di atas.
Partai
politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure
group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok
kepentingan (interest group).
Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi
lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan
atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha
menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup
mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah
atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi
yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili pelbagai
golongan- lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok
kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.
Kelompok
– kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya,
sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan perbedaan-perbedaan ini sangat
mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Walaupun
kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir berdasarkan keanggotaan,
kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar isue-isue kebijaksanaan,
kelompok-kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar, dan secara
finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada bidang pekerjaan atau
profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier seseoranglah yang
paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan atau tindakan
pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara memiliki serikat buruh, himpunan
pengusaha, kelompok petani dan persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur
dan guru.
5. Hukum dan
lembaga-lembaga internasional.
Hubungan
internasional; sebetulnya jika hubungan antar negara merupakan hubungan
internasional, jelas istilah tersebut sangat menyesatkan bagi sebagai disiplin
ilmu politik yang memfokuskan pada hubungan lintas negara dan inter-negara
dalam diplomasi, transaksi ekonomi, serta perang maupun damai. Asal-usul
hubungan internasional terdapat dalam karya para teolog, yang mengajukan
argumen tentang kapan dan bagaimana perang itu dianggap adil, seperti karya
Grotius, Pufendorf, dan Vattel, yang mencoba menyatakan bahwa ada hukum
bangsa-bangsa yang sederajat dengan hokum domestik negara-negara, dan karya
karya para filsuf politik seperti Rousseau dan Kant, yang membahas kemungkinan
perilaku moral dalam perang dan kebutuhan akan tatanan internasional yang
stabil dan adil.
Sub-bidang
ilmu politik ini memfokuskan pada masalah-masalah yang beragam menyangkut
organisasi-organisasi internasional, ekonomi-politik internasional, kajian
perang, kajian perdamaian, dan analisis kebijakan luar negeri. Namun secara
normatif terbagi dalam dua mazhab pemikiran yaitu pemikiran idealis dan
pemikiran realis. Pemikiran idealis mempercayai bahwa negara dapat dan harus
melaksanakan urusan-urusan mereka sesuai dengan hukum dan moralitas serta
kerjasama fungsional lintas batas negara membentuk landasan bagi perilaku
moral. Sedang dalam mazhab realis sebaliknya; mereka percaya bahwa negara pada
dasarnya amoral dalam kebijakan luar negerinya; hubungan antar negara diatur
bukannya oleh kebaikan tetapi kepentingan; perdamaian adalah hasil dari
kekuasaan yang seimbang, bukannya tatanan normative dan kooperatif fungsional.
9.
Sumber:
http://lukmanakselerasi.blogspot.com/