Sunday, March 30, 2014

CAKUPAN ILMU POLITIK // STIA PUANGRIMAGGALATUNG SENGKANG


 TUGAS KELOMPOK  
PENGATAR  ILMU POLITIK
( CAKUPAN ILMU POLITIK)







NAMA ANGGOTA  KELOMPOK 1 :

LUKMAN KHAKIM
NURUL WAHIDA
NURSEHA
MUDRA
SUHARTINA
NURHEDA RAHMADHANI


SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI  (STIA)
PUANGRIMAGGALATUNG SENGKANG
TAHUN AJARAN 2013/2014






CAKUPAN ILMU POLITIK


1.      Filsafat Politik
a.       Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
b.      Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
c.       Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
d.      Tradisi Modern

2.      Ruang Lingkup Ilmu Politik /bidang ilmu politik
a.       Teori politik
b.      Lembaga-lembaga politik
c.       Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum
d.      Hubungan internasional

3.      Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
a.       Ilmu Politik (Political Science).
b.      Lembaga-lembaga Politik.
c.        Tingkah Laku Politik.
d.      Politik Perbandingan.
e.       Hubungan Internasional
f.        Teori Politik.
g.       Administrasi dan Kebijakan Publik.
h.      Ekonomi Politik.
i.         Metodologi Politik. 


4.      Ontologi Ilmu Politik
a.       Negara (state)
b.      Kekuasaan (power)
c.        Pengambilan keputusan (decision-making)
d.      Kebijaksanaan umum (public policy)
e.       Pembagian (distribution)

5.      pendekatan – pendekatan dalam kajian Ilmu politik
a.       Pendekatan Institusional
b.      Pendekatan Perilaku
c.       Neo-Marxis
d.      Ketergantungan
e.       Pendekatan Pilihan Nasional
f.        Pendekatan Behavioral
g.       Pendekatan Plural
h.      Pendekatan Struktural
i.         Pendekatan Developmental
j.         Pendekatan menurut epistemology
a)                        Pendekatan tradisional
b)                        Pendekatan behavioral
c)                         Pendekatan post-behavioral



6.      Konsep-konsep dalam yang ingin di capai dalam politik
a.       Power (Kekuasaan)
b.      Authority (Kewenangan)
c.       Influence (Pengaruh)
d.      Persuasion (Ajakan)
e.       Coercion (Paksaan)
f.        Acquiescence (Perjanjian)

7.      4 asumsi kata politik menurut Andrew Heywood:
a.       Politik sebagai Seni Pemerintahan
b.      Politik sebagai hubungan public
c.       Politik sebagai kompromi dan consensus
d.      Politik sebagai kekuasaan

8.      Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
a.       Politik dengan Sejarah
b.      Politik dengan sosiologi
c.       Politik dengan psikologi
d.      Politik dengan ekonomi
e.       Politik dengan filsafat
f.        Politik dengan antropologi
g.       Politik dengan teologi
h.      Politik dengan jurnalis dan politisi
i.         Politik dengan gografi
j.         Politik dengan ilmu hokum

9.      Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

10.  inti  kajian ilmu politik dapat meliputi:
a.       Filsafat dan teori politik.
b.      Struktur dan lembaga-lembaga politik.
c.       Partai politik dan organisasi masyarakat.
d.      Partisipasi warga negara.
e.       Hukum dan lembaga-lembaga internasional.




1.     Filsafat Politik

            Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.

a.      Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)

            Politik dalam pandangan klasik dikemukakan oleh Arsitoteles, adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum Kebaikan bersama ini bisa berupa. Nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kesejahteraan, dll. Keinginan orang banyak atau keinginan golongan mayoritas. Pandangan politik klasik ini terlalu bersifat filosofis sehingga tidak membumi, tidak melihat realitas.
            Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
            Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.

b.     Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)

a.       Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
                  Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
b.      Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M).
                  Magnum opus Aquinas adalah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan hukum Tuhan.Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut digulingkan."

c.       Martin Luther (1484-1546 M)

                  Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.

                  Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.

c.      Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).

Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.

Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.

Thomas Hobbes (1588-1679 M). Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan stabilitas dan kedamaian.

Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"

John Locke (1632-1704 M) Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi. Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:

1.                   Legislatif (pembuat UU)
2.                   Eksekutif (pelaksana UU)
3.                   Federatif (hubungan dengan luar negeri) sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut adalah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis. Montesquieu (1689-1755 M). Magnum opus dari Montesquieu adalah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut:
1.      hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
2.      pengaturan militer dan pajak
3.      ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
4.      perekonomian.
5.      agama
6.      uraian tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.

Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).

Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M). Magnum opus Rousseau adalah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.

Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.

d.     Tradisi Modern

Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.

Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.

John Stuart Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.


2.     Ruang Lingkup Ilmu Politik /bidang ilmu politik
a.      Teori politik
           
            Teori politik adalah bahasan sistematis dan generalisasi-generalisasi dari politik. Teori politik bersifat spekulatif (merenung-renung) sejauh dia menyangkut norma-norma untuk kegiatan politik. Tetapi teori politik juga dapat bersifat deskriptif  (menggambarkan) atau komparatif (membandingkan) atau berdasarkan logika. Dengan kata lain, teori politik adalah bahasan dan renungan atas:
1.      tujuan dari kegiatan politik
2.      cara-cara mencapai tujuan itu
3.      kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu dan
4.      kewajiban-kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
        Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi dan sebagainya.
        Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory dibedakan dua macam teori politik. Sekalipun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak.
1.      Teori-teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norm for political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai (value) maka teori-teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi dan sebagainya.
2.      Teori-teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori-teori ini dapat dinamakan non-valuational. Ia bisasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membandingkan). Ia berusaha untuk membahas fakta-fakta kehidupan politik sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi. 
b.     Lembaga-lembaga politik
1.      Undang-Undang Dasar
2.      Pemerintah Nasional
3.      Pemerintah lokal dan daerah
5.   Administrasi negara
4.      pelaksanaan fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintahs
5.      Perbandingan pemerintah dan  lembaga-lembaga politik

c.      Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum
1.      Partai-partai politik
2.      Golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi
3.      Partisipasi warga Negara dalam pemerintah dan administrasi
4.      Pendapatan umum

d.     Hubungan internasional
1.      Politik Internasional
2.      Organisasi-organisasi dan administrasi internasional
3.      Hukum Internasional




3.      Sub-sub Disiplin Ilmu Politik

     Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu:
1.      Ilmu Politik (Political Science). Bidang ini membahas bagaimana politik dapat dianggap sebagai bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
2.      Lembaga-lembaga Politik. Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
3.      Tingkah Laku Politik. Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan lembaga politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal. Misalnya mempelajari perilaku pemilih dalam 'mencoblos' suatu partai dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara mereka.
4.      Politik Perbandingan. Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari: (a) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang diperbandingkan, dan (b) Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan, dan bagaiana melakukan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
5.      Hubungan Internasional. Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri, hukum internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi internasional. Singkatnya, segala aktivitas politik yang melampaui batas yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
6.      Teori Politik. Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru dalam ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu politik telah mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan politik "menutup" diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Duia I), diterapkan teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
7.      Administrasi dan Kebijakan Publik. Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana aktivitas ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
8.      Ekonomi Politik. Sub disiplin ini menekankan pada perilaku ekonomi dalam proses politik serta perilaku politik dalam pasar (marketplace).
9.      Metodologi Politik. Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam uji statistik (dalam tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
4.      Ontologi Ilmu Politik
1.     Negara (state)
Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.

2.     Kekuasaan (power)
Kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.

3.      Pengambilan keputusan (decision-making)
Keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternative pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.

4.     Kebijaksanaan umum (public policy)
Kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya.

5.     Pembagian (distribution)
Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga. Pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik.


5.      Pendekatan Dalam Ilmu Politik Antara Lain :
a.      Pendekatan Institusional
     Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan. Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum. Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
b.     Pendekatan Perilaku
            Esensi kekuasaan adalah untuk kebijakan umum. tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Lebih bermanfaat bagi peneliti dan pemerhati politik untuk mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala-gejala yang benar-benar dapat diamati. Perilaku politik menampilkan regularities (keteraturan)
c.      Neo-Marxis
            Menekankan pada aspek komunisme tanpa kekerasan dan juga tidak mendukung kapitalisme. Neo Marxis membuat beberapa Negara sadar akan pentingnya persamaan tanpa kekerasan, akan tetapi komunisme sulit dijalankan di beberapa Negara karena komunisme identik dengan kekerasan dan kekejaman walaupun pada intinya adalah untuk menyamakan persamaan warga negaranya di suatu Negara sehingga tidak ada yang ditindas dan menindas terlebih lagi dalam bidang ekonomi. Neo-Marxis juga menginginkan tidak adanya kapitalisme yang sering dilakukan Negara Barat dalam hal ini Negara maju, karena kapitalisme hanya mementingkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering kali “menyengsarakan” rakyat pribumi karena orang-orang pribumi sering kali hanya menjadi penonton atau pun menjadi korban dari kapitalisme ini. Walaupun kapitalisme berhubungan dengan bidang ekonomi tetapi kapitalisme juga berpengaruh dalam hal kebijakan politik yang dibuat oleh Negara-negara maju terhadap Negara-negara berkembang yang sering dijadikan sasaran kapitalisme besar-besaran seperti Indonesia.
d.     Ketergantungan
            Memposisikan hubungan antar negara besar dan kecil. Pendekatan ini mengedepankan ketergantungan antara Negara besar dan Negara kecil yang saling keterkaitan sehingga satu sama lain saling bergantung, jadi Negara besar bergantung pada Negara kecil baik dalam hal politik, ekonomi dan dalam hubungan internasional dan sebaliknya sehingga satu sama lain mempunyai posisi yang sama.
e.      Pendekatan Pilihan Nasional
            Pilihan-pilihan yang rasional dalam pembuatan keputusan politik. Pendekatan pilihan nasional ini menekan kan bahwa pengambil kebijakan atau pembuatan keputusan dilihat dari rasionalitas yang ada di Negara tersebut agar bisa dijalankan oleh Negara dan tentu identitas social-politik sangat diperlukan. Terdapatnya identitas sosial-politik disebabkan adanya prilaku politik identitas guna mengembangkan kelompok-kelompok. Prilaku ini seiring bertumbuh-kembangnya eksplorasi kebudayaan di setiap kelompok guna “menemukan” kembali dan atau melestarikan solidaritas identitas yang dimiliki. Eksplorasi tersebut sangat bermanfaat bagi eksistensi kelompok identitas yang memiliki jumlah besar (mayoritas).
f.        Pendekatan Behavioral
            Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme. Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
g.      Pendekatan Plural
            Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills).
h.     Pendekatan Struktural
            Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa). Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang ‘mendadak’ kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
i.        Pendekatan Developmental
            Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.

6.      Konsep-konsep dalam yang ingin di capai dalam politik
1.      Power (Kekuasaan)
            Power sering diartikan sebagai kekuasaan. Sering juga diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain, untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesselshaft menyatakan, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan. Pernyataan ini menjadi rujukan banyak ahli, seperti yang dinyatakan Harold D. Laswell dan A. Kaplan,” Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak pertama.”
            Kekuasaan merupakan konsep politik yang paling banyak dibahas, bahkan kekuasaan dianggap identik dengan politik. Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society: “Ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.”

2.      Authority (Kewenangan)
            Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan. Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi.
            Kewenangan digunakan untuk mencapai tujuan pihak yang berwenang. Karena itu, kewenangan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan. Robert Bierstedt menyatakan dalam bukunya an analysis of social power , bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Seseorang yang memiliki kewenangan berhak membuat peraturan dan mengharapkan kepatuhan terhadap peraturannya.

3.      Influence (Pengaruh)
            Norman Barry, seorang ahli, menyatakan bahwa pengaruh adala suatu tipe kekuasaan, yang jika seorang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi terbuka bukan merupakan motivasi pendorongnya. Dengan demikian, dapat dikatakan pengaruh tidak bersifat terikat untuk mencapai sebuah tujuan.
            Pengaruh biasanya bukan faktor satu-satunya yang menentukan tindakan pelakunya, dan masih bersaing dengan faktor lainnya. Bagi pelaku masih ada faktor lain yang menentukannya bertindak. Walaupun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan kekuasaan, pengaruh lebih unggul karena terkadang ia memiliki unsur psikologis dan menyentuh hati, dan karena itu sering berhasil.

4.      Persuasion (Ajakan)
            Persuasi adalah kemampuan untuk mengajak orang lain agar mengubah sikap dengan argumentasi, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan orang yang mengajak. Dalam politik, persuasi diperlukan untuk memperoleh dukungan. Persuasi disini dilakukan untuk ikut serta dalam suatu komunitas dan mencapai tujuan komunitas tersebut. Persuasi bersifat tidak memaksa dan tidak mengharuskan ikut serta, tapi lebih kepada gagasan untuk melakukan sesuatu. Gagasan ini dinyatakan dalam argumen untuk memengaruhi orang atau kelompok lain.

5.      Coercion (Paksaan)
            Paksaan merupakan cara yang mengharuskan seseorang atau kelompok untuk mematuhi suatu keputusan. Peragaan kekuasaan atau ancaman berupa paksaan yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pemilik kekuasaan.
            Dalam masyarakat yang bersifat homogen ada konsensus nasional yang kuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Paksaan tidak selalu memengaruhi dan tidak tampak. Dengan demikian, di negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya digunakan seminimal mungkin dan hanya digunakan untuk meyakinkan suatu pihak.
            Contoh dari paksaan yang diberlakukan sekarang adalah sistem ketentuan pajak. Sifat pajak ini memaksa wajib pajak untuk menaati semua yang diberlakukan dan apabila melanggar akan dikenai sanksi.

6.      Acquiescence (Perjanjian)
            Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu pihak membuat janji kepada pihak lain untuk melaksanakan satu hal. Oleh karena itu, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian dilaksanakan dalam bentuk lisan atau tulisan. Acquiescence diartikan sebagai perjanjian yang disetujui tanpa protes.

7.       4 asumsi kata politik menurut Andrew Heywood:

1.      Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang paling tua dan telah berkembang sejak masa Yunani Kuno.

2.      Politik sebagai hubungan public
            Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa manusia adalah binatang politik. Maknanya, secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi seperti keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.

            Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.

3.      Politik sebagai kompromi dan consensus
            Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana masalah pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.

4.      Politik sebagai kekuasaan
            Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.

8.      Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain

            Prinsip-prinsip ilmiah dalam ilmu alam adalah berarti prinsip “resonable conduct” yaitu ‘the manner in which a typical contemporary scientist deal with his problems of research”, atau prinsip-prinsip yang sudah diterima secara umum dalam ilmu ilmu alam, seperti ketika ilmuwan ilmu alam dihadapkan pada gejala yang harus dijelaskannya

a.      Hubungan ilmu Politik dengan Sejarah
Mempelajari peristiwa masa lampau baik menyangkut sebab-sebabnya serta hubungan antar peristiwa. Membantu ilmu politik dalam memprediksi masa depan yakni mengapa suatu peristiwa terjadi, bagaimana suatu peristiwa terjadi serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

b.     Hubungan ilmu Politik dengan sosiologi
Baik ilmu sosiologi maupun ilmu politik sebagai ilmu yang berusaha mengupas fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi banyak memberi kontribusi terhadap ilmu politik dalam penajaman analisis Membantu ilmu politik dalam memahami latar belakang struktur dan pola kehidupan sosial terutama kaitannya dengan pengambilan keputusan, pengendalian sosial serta pola pengorganisasian secara politis. Sama-sama menelaah negara. Sosiologi melihat Negara sebagai organisasi pengendali sosial. Ilmu politik melihatnya sebagai asosiasi tertinggi. Membantu memahami ilmu politik dalam rangka mengetahui sumber-sumber kewenangan politik, sumber-sumber keabsahan politik

c.      Hubungan ilmu Politik dengan psikologi social
psikologi yang meneliti perilaku manusia sebagai individu dalam kaitannya dengan situasi sosial (mengamati tingkah laku seseorang yang dipengaruhi situasi sosial). Membantu ilmu politik : Menjelaskan gejala-gejala politik dan motif-motif politik yang menjadi dasar setiap proses politik Dalam menganalisis tentang siapa yang paling berkuasa dalam proses politik Pengaruh pemimpin informal dalam pembuatan keputusan politik Mengetahui sikap masyarakat terhadap hal-hal yang baru dan bagaimana situasi yang ada.

d.     Hubungan ilmu Politik dengan ekonomi
Menelaah sesuatu yang berkaitan dengan faktor kelangkaan sehingga berorientasi pada kebijakan rasional. Membantu ilmu politik: Pengambilan keputusan terutama menyangkut pembangunan ekonomi nasional Penggunaan pendekatan tingkah laku dalam menganalisis masalah-masalah politik

e.      Hubungan ilmu Politik dengan filsafat
Mengkaji secara sistematis dan rasional dalam mencari jawaban atas persoalan yang menyangkut alam dan kehidupan manusia. Membant ilmu politik menyangkut hakekat manusia, nilai-nilai ideal bagi kehidupan negara/pemerintah. Membantu ilmu politik menyangkut moral dan etika

f.        Hubungan ilmu Politik dengan antropologi sosial
Fokus analisisnya menyelidiki aspek kultural dari setiap hidup bersama. Membantu Ilmu politik : Untuk memahami kondisi masyarakat terutama di negara-negara berkembang yang sedang mengalami perubahan terkait dengan konsep modernisasi, demokratisasi, kolonialisme, hubungan elite dengan massa, nasionalisme, dll Pengembangan metode penelitian partizipant observer
g.      Hubungan ilmu Politik dengan teologi
Menangani masalah Anomi, karisma.

h.     Hubungan ilmu Politik dengan jurnalis dan politisi
Imperialisme, internasionalisme, isolasionisme, kiri dan kanan, lobi, netralisme, nihilisme, patronase, plebisit, propaganda, sosialisme, sindikalisme.

i.        Hubungan ilmu Politik dengan gografi
Faktor-faktor yang berdasarkan geografi, seperti perbatasan strategis, desakan penduduk, daerah pengaruh mempengaruhi politik.

j.        Hubungan ilmu Politik dengan ilmu hokum
Sama-sama menganalisis negara dan komponenanya. Ilmu Politik dapat dibantu dalam memahaminya secara normatif. Keterkaitan hukum dengan politik keduanya saling terkait dikerena hukum dapat memberikan keadilan dan membatasi perilaku manusia dalam berpolitik serta membantu dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran dalam berpolitik seperti masalah korupsi,kolusi serta pelanggaran-pelanggaran pemilu.       



SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU POLITIK

            jika kita mengkaji ilmu politik, kita dapat memulainya dari ilmu politik yunani kuno, kemudian abad Romawi, lalu abad Pertengahan (middle ages), sampai pada Rennaisance dan abad pencerahan sampai abad 19 dan abad 20. Dalam kajian sejarah ilmu politik, ada dua teori tentang lahirnya ilmu politik, yaitu pembahasan secara luas dan pembahasan secara sempit. Secara luas ilmu politik sudah ada sejak zaman dahulu terbukti dari peninggalan prasasti serta pembahasan–pembahasan dan tulisan-tulisan dari para philosophy masa lampau. Sedangkan secara sempit ilmu politik dilihat dari aspek sisstematisnya sebagai ilmu dalam aspek akademis.


* Secara luas Ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu, dibuktikan dari karya karya berikut:

- Yunani Kuno pada tahun 450 SM pemikiran mengenai Negara sudah dimulai, dilihat dari karya Herodutus, Plato dan Aristoteles
- Asia , seperti Imdia tahun 500 SM terdapat kitab kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra.
- Wilayah Asia lain, Cina tahun 500 SM, terdapat beberapa tokoh filsuf seprti Confucius dan Kung Fu Tzu
- Arab abad II M terdapat beberapa karya AL – Marwardi berjudul AL – Akham AS-Sultaniyyah
- Indonesia , terdapat beberapa karya yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan seperti yang ditulis dalam buku Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi pada abad 13-15 M


* Secara Sempit Dinegara Eropa seperti Jerman, Austria dan prancis dimulai kelahiran ilmu politik. Pada abad ke 18 dan ke 19 negara-negara tersebut dipengaruhi dan di monopoli oleh Ilmu Hukum, oleh sebab itu beberapa pemikir Negara tersebut mulai beralih kepada ilmu-ilmu social politik. Tahapan-tahapan perkembangan dimulai dari :

a.       Abad 18 dan 19 di Jerman, Austria dan Prancis telah muncul pembahasan tentang politik namun masih kental dipengaruhi hukum dan negara. Ø Di Inggris Ilmu politik dipengaruhi oleh filsafat moral dan sejarah Ø Di Paris Prancis tahun 1870 lahir Ecole libredes Scienies
b.      Di Inggris tahun 1895 muncul lembaga London School of Economic and Political Science Ø Di AS tahun 1858 diangkat Francis Lieber sebagai guru besar Sejarah dan Ilmu politik di columbia College.
c.       Masih di AS tahun 1904 lahir American Political Science Assosiation (APSA) Ø Unesco lembaga dibasah PBB tahun 1948 melahirkan buku Contemporary Political Science

      Jadi Ilmu politik adalah suatusuatu ilmu yang memproses pembentukan dan pembagian kekuasaan dengan pembuatan keputusan dalam suatu negar. Ilmu politik tidak bias lepas dari kehidupan suatu negara dan pemerintahan, karena sangat berperan penting dalam berjalannya roda pemerintahan.Ilmu politik yang telah berumur kira- kira 2500 tahun ini dibentuk oleh para ilmuwan philosophy jelas memiliki banyak mamfaat.Intisarinya Ilmu politik pada dasarnya adalah ilmu yamg sangat berguna bagi negara, namun banyak orang menyalahgunakan ilmu poilitik sebagai wewenang untuk mereka melakukan tindakan kotor seperti KKN.
      Politik hari ini tidak sekedar mencakup Negara dan Kekuasaan. ia sudah menyangkup semua level, dari orang yang miskin sampai yang kaya sekalipun. Dari rumah tangga sampek negara. Prof. Dr. MIriam Budiardjo menulis bahwa–setidaknya secara teori–berbicara politik tidak akan lepas dari masalah state, power, decision making, publik policy, allocation atau distribution. Soal positif tidaknya image politik sangat tergantung pada prilaku politik seseorang dan pengetahuan masyarakat luas tentang apa sebenarnya politik. Namun demikian perlu disadari bahwa manusia yang brutal lebih banyak dari pada manusia yang mendengarkan dan memanifestasikan nilai-nilai kamanusiaan universal dalam dalam kehidupan. Tindaka seperti itu dikarenakan kurangnya pendidikan spiritual dikalangan sebagian politikus sehingga mereka melakukan praktek tersebut. Masyarakat saat ini membutuhkan para politikus yang adil, jujur dan memiliki kecakapan yang luas.


2.      Inti  kajian ilmu politik dapat meliputi:
1.      Filsafat dan teori politik.
Filsafat politik mencari penjelasan yang berdasarkan ratio. Ia melihat jelas adanya hubungan antara sifat dan hakekat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan hakekat dari kehidupan politik di dunia fana ini. Pokok pikiran dari filsafat politik ialah bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan epistemology harus dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami seahri-hari dapat ditanggulangi. Misalnya menurut filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan hakikat dari alam semesta yang sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang baik” (good life) yang dicita-citakan olehnya. Contoh lain adalah beberapa karya John Locke. Filsafat politik erat hubungannya dengan etika dan filsafat sosial.
Teori-teori politik ini tidak memajukan suatu pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Jadi, ia tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya norma-norma, tetapi hanya mencoba untuk merealisasikan norma-norma dalam suatu program politik. Teori-teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma-norma dalam kegiatan politik. Misalnya, dalam abad ke 19 teori-teori politik banyak membahas mengenai hak-hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara dan mengenai sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu. Bahasan-bahasan ini didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendiri.

2.      Struktur dan lembaga-lembaga politik.
Lembaga-lembaga politik merupakan kajian terhadap lembaga-lembaga politik khususnya peranan konstitusi, eksekutif, birokrasi, yudikatif,
partai politik dan sistem pemilihan, yang mula-mula mendorong pembentukan formal jurusan-jurusan ilmu politik di banyak niversitas pada akhir abad ke-19 (Miller, 2003: 790). Sebagian besar mereka tertarik pada penelusuran asal-usul dan perkembangan lembaga-lembaga politik dan memberikan deskripsi-deskripsi fenomenologis; memetakan konsekuensi-konsekuensi formal dan prosedural dari institusi-institusi politik. Banyak para ahli politik kontemporer yang menghabiskan waktunya untuk memonitor, mengevaluasi, dan menghipotesiskan tentang asal-usul,
perkembangan dan konsekuensi-konsekuensi lembaga-lemabag politik, seperti aturan-pluralitas sistem pemilihan atau organisasi-organisasi pemerintahan yang semu. Namun sebagian lagi mereka kurang toleran dan mengklaim bahwa merekaterlibat dalam deskripsi-deskripsi tebal hanya karena mereka memang ilmuwan politik yang handal, bukan yang kebanyakan ada.

3.      Partai politik dan organisasi masyarakat.
Partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum, banyak memakai konsep-konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses-proses politik. Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.
Di negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai itu, partai politik merupakan alat yang baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan politik  dan merebut kedudukan politik –(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

4.      Partisipasi warga negara.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak langsung – dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili pelbagai golongan- lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.
Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar isue-isue kebijaksanaan, kelompok-kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada bidang pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan atau tindakan pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara memiliki serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur dan guru.

5.      Hukum dan lembaga-lembaga internasional.
Hubungan internasional; sebetulnya jika hubungan antar negara merupakan hubungan internasional, jelas istilah tersebut sangat menyesatkan bagi sebagai disiplin ilmu politik yang memfokuskan pada hubungan lintas negara dan inter-negara dalam diplomasi, transaksi ekonomi, serta perang maupun damai. Asal-usul hubungan internasional terdapat dalam karya para teolog, yang mengajukan argumen tentang kapan dan bagaimana perang itu dianggap adil, seperti karya Grotius, Pufendorf, dan Vattel, yang mencoba menyatakan bahwa ada hukum bangsa-bangsa yang sederajat dengan hokum domestik negara-negara, dan karya karya para filsuf politik seperti Rousseau dan Kant, yang membahas kemungkinan perilaku moral dalam perang dan kebutuhan akan tatanan internasional yang stabil dan adil.
Sub-bidang ilmu politik ini memfokuskan pada masalah-masalah yang beragam menyangkut organisasi-organisasi internasional, ekonomi-politik internasional, kajian perang, kajian perdamaian, dan analisis kebijakan luar negeri. Namun secara normatif terbagi dalam dua mazhab pemikiran yaitu pemikiran idealis dan pemikiran realis. Pemikiran idealis mempercayai bahwa negara dapat dan harus melaksanakan urusan-urusan mereka sesuai dengan hukum dan moralitas serta kerjasama fungsional lintas batas negara membentuk landasan bagi perilaku moral. Sedang dalam mazhab realis sebaliknya; mereka percaya bahwa negara pada dasarnya amoral dalam kebijakan luar negerinya; hubungan antar negara diatur bukannya oleh kebaikan tetapi kepentingan; perdamaian adalah hasil dari kekuasaan yang seimbang, bukannya tatanan normative dan kooperatif fungsional.
9.    

Sumber:  
http://lukmanakselerasi.blogspot.com/



No comments:

Post a Comment

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN

EXTRAWEBDIA .COM: TUGAS MAKALAH ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil...