Friday, May 30, 2014

LUKMAN UNV PRIMA : PERKEMBANGAN POLITIK LOKAL DI KABUPATEN WAJO



Perkembangan Politik Lokal Di Kabupaten Wajo




            Menurut buku “politik lokal  di Indonesia”  Oleh Gerry Van Klinken, Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom , dan  artikel tentang “perilaku orang bugis dalam dinamika politik lokal”  oleh  Andi Ahmad Yani  Perkembangan politik di wajo di mulai pada  peradaban Bugis-Makassar. Konsep ini dapat dilihat dari fakta sejarah bahwa hampir semua kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis dan Makassar terbangun dari adanya perjanjian politik antara kelompok (Anang) dalam wilayah pemukiman masing-masing (Wanua) untuk mengangkat To Manurung sebagai pemimpin atau raja mereka. Seperti di Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan Pammana kemudian bubar menjadi kerajaan wajo, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Sinjai, dan Kerajaan Toraja  yang meyakini bahwa founding fathers kerajaannya adalah To Manurung. (Mattulada,1975 dan 1998, Laica Marzuki,2005,  Pelras, 2006)

            Kerajaan Wajo yang merupakan salah satu kerajaan besar Bugis, namun tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung. Yang menarik adalah mereka bersama-sama memilih pemimpinnya (matoa) yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang telah ditentukan sebelumnya. Kandidat matoa bisa berasal dari tiga kelompok masyarakat yang merupakan awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Dan bisa juga berasal dari luar kalangan mereka, tentunya jika memenuhi syarat kepemimpinan tadi.
            Dalam kerajaan wajo Pemimpin tertinggi di sebut Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh tiga orang yaitu Paddanréng atau Ranré ng (sekutu) yaitu Paddanréng Betteng Pola, Paddanréng Tola Ténreng, dan Paddanréng Tua’. Terdapat juga tiga pejabat tinggi Tana Wajo lain yaitu Pabbaté Lompo atau Baté Lompo (panji-panji kaum) yang juga mewakili tiga daerah sekutu. Tugas Baté Lompo ini pada awalnya adalah untuk keamanan dalam wilayahnya masing-masing. Seiring pertumbuhan pemerintahan mereka pun berfungsi sebagai menteri-menteri pembantu Arung Matoa Wajo.
            Pucuk pimpinan pemerintahan tertinggi Tana Wajo di sebut Petta Wajo (Pertuanan Tana Wajo) yaitu sistem presidium yang terdiri atas Arung Matoa ditambah dengan Arung Ennenngé atau Petta Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga orang Padanréng dan tiga orang Baté Lompo. Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga pembuat undang-undang. Disamping itu juga terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil permufakatan dan perinah dari Padanreng kepada rakyat, menyampaikan perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo
             Jadi terdapat 40 orang dalam lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6 orang Arung Ennengnge, 30 orang Arung Mabbicara, dan 3 orang Suro ri Bateng. Ke 40 orang atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe (pertuanan yang empat puluh) atau Puang ri Wajo (penguasa Tana Wajo).yang selanjutnya memangku kedaulatan Tana Wajo yang disebut Paoppang,Palengenngi Tana Wajo ( Yang dapat menelungkupkan dan menengadahkan Tana Wajo). Di bawah setiap Paddanreng (Kepala Negeri), terdapat Punggawa atau Matoa yang menjadi pemimpin disetiap wanua asal, yaitu Majauleng, Sabbang Paru dan Takkalalla’. matoa-matoa atau punggawa-punggawa ini sering disebut inanna tau megae (induk dari semua orang).
            Para Matoa atau Punggawa menjalankan pemerintahan secara otonom dan juga menjadi perpanjangan tangan antara Petta Wajo dengan para Arung Lili’ (Raja-raja bawahan) di seluruh Tana Wajo.
            Sistem sosial politik seperti ini akan berimplikasi pada lahirnya stratifikasi sosial di masyarakat. Terdapat suatu kelompok sosial tertentu yang memiliki status sosial dan budaya tersendiri karena memiliki penguasaan resources yang tentu berbanding lurus dengan tingkat kekuasaan yang dimilikinya. Pengakuan terhadap status sosial mereka memperkuat stratifikasi sosial dalam masyarakat.

            Konsep stratifikasi sosial ini diuraikan di La Galigo dalam mitos tentang nenek moyang orang bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang “berdarah putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang ”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Ditekankan kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur. Meskipun aturan ini semakin longgar seiring waktu bergulir. (Pelras,196;2006) Untuk menegaskan hirarki dalam masyarakat tradisional bugis maka terbentuklah simbol-simbol tertentu yang menunjukkan status sosial mereka. Dengan simbol ini maka masyarakat kemudian mengetahui dengan siapa mereka berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan tata cara berperilaku yang seharusnya menurut nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan.

            Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis yaitu hierarki status seseorang berdasarkan “warna darah” atau keturunan dan kedua adalah hierarki sistem pemerintahan yang terdiri atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing. Secara alamiah akan terjadi persaingan atau perselisihan antar mereka yang sederajat dan kadang kala terbangun assosiasi antar strata sosial, baik yang sederajat ataupun yang tidak sederajat. Hingga pada titik tertentu akan terjadi afiliasi-afiliasi antar kelompok atau antar individu untuk merealisasikan atau mempertahankan suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pada fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut patron-klien.



Dan di era sekarang ini Kabupaten Wajo yang merupakan salah satu daerah terkenal di Provinsi Sulawesi selatan karena kaya akan budaya dan memiliki tiga dimensi wilayah yang sangat subur, potensi sumber daya alam yang memadai dengan luas wilayah 2.506,19 Kilometer persegi atau sekitar 4,01 persen dari luas wilayah Sulsel

            Untuk mewujudkan pembangunan yang lebih baik di Wajo, H.Andi  Burhanuddin Unru  sebagai Bupati Wajo  menargetkan optimalisasi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi kerakyatan dan penurunan angka kemiskinan.  Dan menururut Mantan Sekda Wajo mengukapkan bahwa "Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Wajo sudah berkembang sangat pesat, dimana skala prioritas yang menjadi perharian kita seperti  pengembangan ekonomi kerakyatan dan investasi, pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan pelayanan hak dasar masyarakat, peningkatan infrastruktur dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, pemanfaaatan dan penataan ruang yang berkualitas dan lainnya,"

            Pertumbuhan ekonomi yang cepat ini sejalan dengan visi-misi yang diusung H.Andi Burhanuddin Unru yakni menjadikan Kabupaten Wajo sebagai kabupaten terbaik dalam pelayanan hak dasar dan tata pemerintahan yang profesional. Disamping itu, dalam rangka peningkatan program dan kegiatan prioritas pada setiap tahunnya. Pemkab Wajo terus berupaya menciptakan keselarasan program-program pembangunan daerah yang akan di danai dari berbagai sumber pendanaan. "Program prioritas sudah berjalan dan ini terus diupayakan untuk melanjutkan pembangunan yang yang berpihak pada masyarakat. Dan semoga di masa kepemimpinan saya saat ini, masyarakat terus meminta untuk melanjutkan pembangunan ini untuk kepemimpinan Kabupaten Wajo mendatang," tandasnya.

            Salah satu upaya yang dilakukan kata dia, adalah dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip yang mendorong tercapainya keserasian, sinergitas, efektifitas dan efisiensi sumber pendanaan untuk pembangunan daerah.  Berbagai program dan kegiatan pembangunan daerah diintegrasikan dengan program dan kegiatan yang menjadi kewenangan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat.

"Pemerintah Kabupaten Wajo dalam kurun waktu empat tahun terakhir, telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik dari pertumbuhan ekonomi maupun tingkat kesejahteraan masyarakat sendiri. Kondisi ini sudah sangat membuktikan bahwa pemerintahan saat ini, telah mampu membawa Kabupaten Wajo ke arah kemajuan,
            Dan kesimpulannya perkembangan politik dikabupaten wajo diawali pada masa kerajaan wajo hingga saat ini terus berkembang menjadi dareah otonom hingga masa sekarang dengan mengadopsi perilaku luhur orang dulu sehingga kabupaten wajo dapat berkembang pesat karena dipengaruhi perilaku masyarakatnya, sumber daya alam yang ada  dan  system politik local yang menjadi landasan masyarakat wajo untuk menempuh jalan kesejahteraan dimasa yang akan datang.
 

 

No comments:

Post a Comment

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN

EXTRAWEBDIA .COM: TUGAS MAKALAH ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil...